Selasa, 21 Oktober 2014

REFLEKSI 3



MEMAHAMI FILSAFAT DALAM DIRI MANUSIA
Oleh: Indah Pertiwi (P.Mat A_14709251002)
(Terinspirasi oleh perkuliahan Filsafat Ilmu Bersama Prof. Dr. Marsigit,M.A
pada hari Kamis, 9 Oktober 2014)
Yang ada dan yang mungkin ada akan mengarungi lautan kontemporer dan mengalir terus sampai akhir jaman. Filsafat yang ada dalam diri manusia melahirkan aliran rasionalisme dan empirisme.
1.      Rasionalisme
Yang tetap ada di dalam pikiranmu sehingga berpikir dengan menggunakan Rasio. Apa yang engkau pikirkan bersifat tetap sehingga melahirkan aliran Rasionalisme. Tokoh yang mempelopori rasionalisme adalah Renneth Deccartes. Ilmu berdasarkan rasio/logika.
2.      Empirisme
Apa yang engkau pikirkan berdasarkan pengalaman sehingga melahirkan aliran Empirisme dengan tokoh David Hume. Ilmu berdasarkan pengalaman.
Dari kedua aliran tersebut, rasionalisme melawan pengalaman. Jadi jika Permenides mengatakan “tiadalah segala sesuatu yang berubah semuanya bersifat tetap”. Seperti manusia tetap manusia, langit tetap langit, laut tetap laut, bumi tetap bumi, air tetap air tak akan berubah satu tetap satu, Tuhan tetap tuhan, umat tetap umat. Tapi Heraclitos mengatakan “tidak ada yang tetap, segala sesuatu itu pastilah berubah”. Oleh karena itu kita harus mempelajari filsafat dengan memahami rasionalisme dan pengalaman sehingga terlihat berbeda dengan yang tidak mempelajarinya. Karena dengan mempelajarinya kita akan menjadi sensitif. Dan jika ada sesuatu yang membahayakan bagi diri kita, kita bisa mengantisipasi. Jadi dalam belajar filsafat ini adalah upaya kita mengembangkan sensor agar sensor menjadi sensitif.
Sebagai contoh mempelajri filsafat, dalam pewayangan ada istilah dewa. Ada dewa laut, dewa air, dewa angin dan lain-lain. Dewa laut berarti induknya/penunggunya laut. Jika kita ibaratnya laut itu ilmu, ya berarti induknya ilmu. Dalam pewayangan Bima masuk ke telinga dewa ruci untuk menemukan hakekat yang ada dan yang mungkin ada yaitu sejatinya hidup. Jika kita ambil contoh mahasiswa, maka kuliah ini sebagai upaya untuk mengembangkan sensor karena mendapatkan ilmu. Sebenernya dimanapun kita berada, entah di jalan entah di pasar dan dimanapun pasti kita mendapatkan ilmu. Ketika kita telah mendapatkan ilmu maka sensor kita akan lebih sensitif terhadap ruang dan waktu dengan catatan sensor itu juga harus diarahkan mau kemana. Seiring dengan berjalannya lautan kontemporer maka ilmu pun berubah. Bermula dari jaman gereja pada abad 13-15 M dimana manusia mengalami traumatis. Berlanjut ke abad gelap dan kehidupan saat ini berada pada fase pos-pos modern Pos modern adalah jaman untuk pengabdian kepada masyarakat. Untuk bisa mengabdi kepada masyarakat harus mengerti ilmu pos modern. Namun, pendapat mengenai ilmu itu tidak pasti sama. Selalu ada perbedaan. Munculah keberanian deccartes dan D.Hume untuk mengatakan pendapatnya mengenai ilme. “Tiadalah ilmu jika tidak berdasarkan rasio (Deccartes) dan “tiadalah ilmu jka tidak berdasarkan pengalaman (D.Hume). Karena perbedaan itulah datanglah Emanuel Kant sebagai juru tengahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar