MEMAHAMI
KONSISTENSI
Oleh:
Indah Pertiwi (P.Mat A_14709251002)
(Terinspirasi
oleh perkuliahan Filsafat Ilmu Bersama Prof. Dr. Marsigit,M.A
pada
hari Kamis, 23 Oktober 2014)
Salah
satu karya terbesar yang berhubungan dengan sikap, perubahan sikap, dan
kepercayaan berada di bawah cakupan teori konsistensi. Semua teori konsistensi
dimulai dengan dasar pikiran yang sama, yaitu orang lebih nyaman dengan
konsistensi daripada inkonsistensi. Sementara itu, konsistensi adalah prinsip
aturan utama dalam proses kognitif dan perubahan sikap yang dapat di hasilkan
dari informasi yang mengacaukan keseimbangan ini.
Hakekat
dari konsisten kembali pada prinsip dunia yang ditemukan oleh Immanuel Kant.
Manurut Immanuel Kant prinsip dunia ada 2 yaitu
1.
Prinsip
Identitas
Contoh:
a. Aku
sama dengan aku (Aku = aku)
Maksudnya ketika kita
sudah turun ke bumi dan memiliki pengalamn maka kita tidak bisa menyebut aku
adalah aku. Karena Aku adalah aku ada ketika kita terlahir ke bumi untuk
selanjutnya setelah menjalani kehidupan kita tidak dapat menemui aku adalah aku
kembali.
b. Satu
= satu
c. I
= I
d. Dia
= dia
e. Yang
ada = yang ada
Yang ada sama dengan
yang ada itu tidak akan tercapai. Tercapai hanya jika diandaikan yakni hanya
ada dalam pikiran atau justru ketika di akhirat. Apabila masih hidup di dunia
seperti halnya gelas berisi air panas saat ini dan akan menjadi lebih dingin di
waktu kemudian. Itu sebagai gambaran diri kita kemarin berbeda dengan diri kita
sekarang dan berbeda pula dengan diri kita yang nanti. Karena ketika kita turun
ke dunia kita sensitif terhadap ruang dan waktu.
Contoh-contoh
tersebut merupakan hukum konsisten. Kita bisa dikatakan konsisten jika berhasil
menemukan rumus identitas. Jadi sebenar-benarnya konsisten hanya ada dalam
pikiran kita. Matematika murni/matematika formal/matematika aksiomatis
berdasarkan definisi, definisis tidak boleh bertentangan dengan teoremanya
tidak boleh bertentangan dengan lemmanya tidak boleh berkontradiksi dengan
postulatnya sehingga dapat dikatakan konsisten. Maka pekerjaan orang matematika
adalah mengadakan penelitian untuk menemukan teorema yang sebanyak-banyaknya.
Teorema 1 hingga 1000 yang terpenting ia harus sama atau ia identitas.
Matematika dikatakan salah jika ditemukan kontradiksi. Kontradiksinya
matematika bukan berarti kontradiksi dunia namun berarti tidak konsisten.
Artinya x tidak sama dengan x. Sehingga matematika itu benar ketika masih
dipikirkan namun ketika sudah ditulis apalagi sudah diucapkan menurut filsafat
dia itu adalah salah. Itulah sebenar-benarnya konsisten. Jadi kehidupan ini
kodratnya adala kontradiksi karena tidak pernah subyek = subyek apalagi subyek
dengan prediksi. Semua itu tidak akan pernah tercapai karena manusia sensitif
terhadap ruang dan waku. Predikat termuat di dalam subyek atau obyek atau di
dalam predikat yang lain. Jika subyeknya itu aku maka predikatnya itu adalah
sifat-sifatku. Maka aku tidak akan pernah sama dengan sifatku. Maka jikalau air
itu subyek maka predikatnya adalah teh, panas, manis. Dan panas sendiri
meliputi yang ada dan yang mungkin ada.
Sebenar-benar
hidup adalah hermeneutica yatu intekasi antara diam dan gerak. Sebener-benar
manusia tidak akan pernah bisa mencapai konsisten namun berusaha untuk mencapai
konsisten.
2.
Prinsip
kontradiksi.
Kebenaran matematika menurut kaum
Logicist-Formalist-Foundationalist adalah kebenaran yang terbebas dari ruang
dan waktu, artinya benar bagi siapapun dan di manapun (Ruang), dan benar
kapanpun (Waktu). Ini merupakan kontradiksinya kaum
Logicist-Formalist-Foundationalist itu sendiri. Mengapa demikian? Karena kaum
Logicist-Formalist-Foundationalist sangat memperhatikan semesta pembicaraan.
Operasi 2 - 3 = ... akan ada hasilnya ketika semestanya setidaknya bilangan
bulat. Demikian juga 2 x ... = 5 hanya akan ada hasilnya ketika semestanya
setidaknya pada bilangan rasional. Bukankah ini bentuk keterikatannya dengan
ruang? Jadi, sebenarnya kebenaran matematika itu tidak bisa terlepas dari ruang
dan waktu.
Apakah benar semua
orang berfilsafat, karena semua orang memiliki potensi untuk berpikir. Dalam kajian
ciri berpikir yang termasuk dalam kategori berpikir filsafat diantaranya adalah
berpikir dengan membangun bagan kosepsional, berpikir secara holistik, berpikir
tuntas, konsisten dan koheren.
Sifat berpikir
filososfis lain adalan berpikir konsisten, dalam proses penyusunan esei, kita
akan membuat sejumlah pertanyaan yang mencakup banyak segi yang berbeda
mengenai pokok persoalan diangkat. Kita harus berhati-hati, apa yang dibahas
tidak boleh bertentangan dengan apa yang diungkap. Konsistensi merupakan sifat
yang harus dirangkaikan dalam berbagai argumentaasi. Karena kadang-kadang
pertanyaan yang kompleks dapat mengandung inkonsistensi internal.
Selain berciri konsisten
dalam berpikir filsafat juga harus tetap mempertahankan sifat Koheren,
Suatu argumentasi atau pernyataan abstrak dan kongkret yang tidak
didukung empirisme dapat menjadi tidak koheren ketika dalam keseluruhan
argumentasi tidak memiliki arti. Seprti ketika kita memakai sebuah istilah,
nilai koherensi akan timbul dari berbagai esei yang tidak menyatu bersama dalam
keseluruhan yang koheren. Kemudian Inkoherensi dapat terjadi ketika sebuah
argumentasi ysng bermakna ditempatkan dalam konteks yang tidak semestinya.
Keseluruhan esei adalah tidak koheren, sejauh masih dipengaruhi oleh berbagai
komponen yang tidak koheren.
Berpikir
filsafat Koheren dan Konsisten yaitu berpikir
kefilsafatan harus sesuai dengan kaedah berpikir (logis) pada umumnya dan
adanya saling kait-mait antara satu konsep dengan konsep lainnya.